Sore itu
langit terlihat agak mendung, tepatnya pukul 15.30 Wita. Suara hembusan angin mulai bergemuruh merontokkan
setiap daun dan dahan pohon yang telah lama kering. Sekawanan burung yang tadi
pagi dengan indahnya menghias angkasa biru beterbangan dengan bebasnya kini
berubah layaknya sampah kering yang tertiup ke sana kemari, kemana pun arah angin
menuntunnya. Lantaran sayapnya tak mampu lagi menahan dan mengendalikan laju angin
yang mengamuk seperti badai. Mereka pasrah dan berharap cuaca buruk segera
berlalu. Berharap bersembunyi dibalik celah pepohonan, atau ditangkainya,
rasanya tak mungkin karena dipastikan tidak aman. Saking kencangnya, hamparan
padi pun yang baru seminggu ditanam oleh warga kampung secara gotong royong, hampir
tercabut dari akar-akarnya. Suara angin itu persis ketika petani sedang marah mengusir
kawanan burung yang hendak menghabisi padi mereka…huuuuuus.
Tiba-tiba saja tampak dari kejauhan sana, serombongan
anak muda sedang bermotor. Dari arahnya dapat dipastikan hendak menuju sebuah desa
yang bernama Moncongkomba. Karena kencangnya angin tersebut, membuat
motor mereka seperti sedang berjoget, terbawa angin. Setelah beberapa menit mereka mengalami keadaan
tersebut, cuaca pun akhirnya menjadi normal. Mereka pun melaju dengan
rapi seperti barisan bebek yang hendak mencari sesuatu untuk mengisi lambung
tengahnya.
Setelah hampir
memasuki desa yang dituju, tiba-tiba
dari arah belakang mereka terdengar suara. Rombongan pemuda tersebut belum bisa
memastikan suara apakah gerangan. Mereka saling menatap satu sama lain,
berusaha memperjelas suara yang didengarnya. Apakah suara itu adalah suara
perempuan yang menangis tersedu-sedu ? atau suara tangisan bayi yang sedang
kelaparan meminta asi ? ataukah suara itu dari seseorang yang sedang meminta
tolong dengan suara melengking ? tak satu pun diantara mereka yang bisa
memastikan. Anak-anak muda itu pun berhenti sejenak dan sama-sama menyimak suara
misterius tersebut.
“ Apakah
kalian mendengar sesuatu”, tanya Safar.
“ Iya…” kompak keempat kawannya menjawab kecuali
Raja.
“Tadi kudengar, tapi kini menghilang lagi”, tegas
Adi.
“ Ah….kalian ini aneh. Dari tadi aku tidak mendengar
suara apa-apa, kecuali suara motor kalian yang bising membuat khayalan saya
tidak fokus. Karena suara motor kalian, konsentrasi saya buyar”. Muka Raja kurang bersahabat karena merasa khayalannya terganggu. Sudah
seminggu ini ia memang sering terlihat murung, sering mengkhayal. Awalnya Raja tak punya niatan ikut bersama
rombongan, hanya terpaksa saja, karena di kamar kostnya tiada teman kecuali
kesunyian.
“Kau yang aneh. Buktinya kami berlima
mendengar suara itu”, jawab Safar dengan suara yang tinggi.
“Kau yang
aneh” balas Raja
“Kauuuuu…yang
aneh” Safar menjawab lagi, giginya seperti ingin mengigit telinga Raja.
“Sudah-sudah, masalah seperti ini saja kalian
ributkan”. Andai bukan karena nasehat Asran, kedua orang tersebut sudah pasti memulai
lagi kebiasaan lamanya, saling marah sambil berdebat dan berdebat. Kedua-keduanya
dikenal dalam kampusnya sebagai mahasiswa yang paling ahli berdebat. Apalagi
jika membincang soal demonstrasi, keduanya adalah mahasiswa yang paling hebat
berorasi, mempengaruhi audience, membakar
semangat massa mahasiswa. Menurut pengakuan Asran, andai saja ada orang yang mati
mendadak karena dicaci-maki
atau dikritik, maka
dipastikan pemerintah sudah lama meninggal karena cacian dan
kritikan (orasi) dari mereka berdua.
Setelah kurang
lebih sepuluh menit berhenti, dan sama-sama mendongakkan kepala ke langit, suara
yang aneh itu tak pernah terdengar lagi. Mereka pun memutuskan untuk melanjutkan
perjalanan. Setelah kurang lebih 30 meter bergeser dari tempat semula, Safar
yang berada paling belakang mulai mengurangi kecepatan motornya lalu berhenti, lantaran suara itu
muncul kembali.
Karena rasa
penasarannya bercampur kepeduliaan, Safar berusaha mencari tahu sumber suara
itu. Safar pun akhirnya berusaha untuk mempengaruhi teman-temannya agar
sama-sama mencari tahu kebenaran suara itu dengan berteriak
sejadi-jadinya.
“Weeee…..kawan, pelankan laju motormu. Berhenti sebentar. Weee... Raja….Rajaaaaaaa…berhentiiiiiii...weeee…”, teriak Safar. Raja yang berada didepannya dengan jarak 30 meter dari
dia sama sekali tidak menghiraukannya, apalagi Adi, Asran, Alam dan Salam yang
berada paling depan dengan jarak 50 meter mendahuluinya.
Safar pun mulai jengkel, naik pitam. Emosinya yang
tak terkendali membuat gigi putihnya yang rapat mulai berbunyi seperti sedang
makan garoppo’. Rona wajah yang tadinya selalu ceria karena selalu bekelakar, kini hilang
seketika berubah menjadi merah penuh kemurkaan.
Setelah lama berteriak akhirnya Raja pun mendengarnya dan berhenti. Raja
langsung memutar balik motor bututnya, Supra
Fit yang sudah tujuh tahun tak terurus. Rangka atau besi-besinya sudah
karatan, velgnya sudah terlihat berbentuk delapan. Menyusuri
lumpur hitam, menggebah padang
rumput atau tanah yang berdebu adalah rutenya karena kakak dan ayahnya sering
mengendarainya ke sawah atau ke kebun ketika Raja pulang kampung.
“Saya mendengar
suara yang begitu aneh, cukup misterius. Apakah kau tidak mendengarnya”, tanya Safar
kepada Raja.
“Tunggu
sebentar,,,,,,sepertinya iya….”
Kedua orang tersebut
bergegas memacu kendaraan bututnya menyusul teman-temannya yang sudah ratusan
meter berada di depan. Berharap bisa mengajaknyanya bersama-sama mencari
kebenaran suara itu. Kecepatan laju kendaraan mereka berdua seperti sedang
berada dalam arena balap motor kelas dunia, mirip Valentino Rossi yang bersaing
dengan Jorge Lorenzo memperebutkan juara satu.
***
![]() |
Sebelum berganti musim, kira-kira luas badan jalan
setapak menuju desa itu antara tiga atau empat meter. Dari kejauhan para
pengguna jalan sudah bisa saling pandang satu sama lain karena tak ada
penghalang. Saat ini setelah kurang lebih sebulan hujan tak mau redah, jalan
menuju desa itu banyak berubah. Ibaratnya sedang kedatangan banyak tamu. Tamu
tahunan yang sering menghias jagad raya. Bunga-bunga liar yang sering tumbuh di
pinggir jalan, satu persatu mulai menampakkan diri.
Pepohonan yang kemarin sangat kurus dan berdiri seksi
menjulang tinggi ke langit seketika berganti gaun menutupi seluruh auratnya
dengan pakaian baru yang diantar sang hujan. Hamparan sawah membentang luas
bergaris-garis kuning kehijau-hijauan pun mengubah rute jalan itu laiknya
menjadi jalan tani. Tak tampak seperti jalan setapak menuju sebuah
perkampungan.
Jarak untuk memasuki desa Moncongkomba tinggal dua
ratusan meter, itu berarti teman-teman Safar dan Raja sudah duluan memasuki
kawasan desa itu. Beruntung karena kecepatan motor mereka, akhirnya dapat
mempertemukan mereka dengan kawan-kawannya yang baru saja lima meter memasuki
desa tersebut.
“Tega sekali kalian meninggalkan kami. Tak
memperdulikan teriakan kami. Dengar saja suaraku sudah berubah, parau karena
memanggil kalian”, cetus Raja. Safar yang sebelumnya sudah marah saat meneriaki
Raja hanya terdiam dengan mata yang sesekali melotot, sesekali menarik nafas. Keempat
kawannya sudah bisa memastikan bahwa dia sedang marah.
“Sory kawan, saya pikirnya kalian berdua ada
dibelakang kami. Kan kita sudah bersepakat agar cepat memasuki desa ini sebelum
hari berganti malam”, jawab Asran dengan suara rendah dan wajah yang membujuk.
“Iya kawan, pammopporanga….”, Adi menambahkan. Sengaja ia
merendahkan suaranya karena tahu pasti bagaimana jika Safar marah, sangat sulit
untuk menormalkan kondisinya. Maklumlah pria yang satu ini karakternya mirip militer. Sebelum dia aktif
berkecimpung di organisasi pergerakan mahasiswa, ia adalah mantan pengurus UKM
Menwa. Raja sendiri sering mengejek dan memanggilnya Arnol Schwarzenegger (aktor film laga dari
California).
Setelah mereka berkumpul beberapa menit, Raja pun
bercerita tentang suara aneh dan misterius tadi. Kali ini mereka berempat tak
akan menolak ajakan Safar dan Raja sekaligus untuk menutupi kesalahan
ketidaksengajaan mereka.
Mereka pun memutar haluan kembali menuju tempat
yang diduga sebagai sumber suara misterius itu. Setelah sampai di tempat itu,
keenam pemuda lajang itu secara bergantian menunduk atau mendongakkan kepala ke
langit, berusaha memperhatikan dan menunggu munculnya suara misterius itu. Selama
lima belas menit mereka menunduk dan mendongak sampai-sampai membuat leher
mereka kejang. Salam, Adi dan Alam sudah menunjukkan kekesalannya, betapa
membosankan dan melelahkannya menanti kemunculan suara aneh itu. Dari raut
wajahnya terpancar suasana batin yang tidak mengenakkan. Adi dan Alam pun hanya bisa menarik nafas, itu pun sudah tidak normal,
berkali-kali dia melakukan itu, penuh nada jengkel, kesal.
Sementara ketiga pemuda lainnya, Safar, Raja, dan
Asran sama sekali tidak menunjukkan kelelahannya.
Setelah hampir lima belas menit berada di tempat
itu, akhirnya perlahan tapi pasti suara itu pun samar-samar mulai terngiang di
telinga mereka.
“Ohh…..saya pasti tidak salah. Saya tahu ini suara
apa, bukan suara tangisan perempuan apatah lagi suara tangisan bayi”, spontan
Alam menebak. Mereka saling menebak dan tak satu pun yang benar.
“Astagaaaa…….ternyata…..”. Spontan Raja
mengeraskan suara. Sementara kawan-kawannya hanya bisa menganga.
Ternyata suara misterius itu yang mereka
perdebatkan, yang hampir membuat mereka saling marah, saling benci satu sama
lain, yang membuat mereka ke malaman menuju Moncongkomba, tidak lain adalah suara kacapi yang berpadu dengan gangrang
bulo yang dimainkan oleh tujuh orang paerang bunting. Paerang bunting pria ini memiliki tujuan yang sama dengan rombongan pemuda tersebut yakni menuju desa
Moncongkomba, tempat pesta pernikahan dilangsungkan.
Iring-iringan
musik kacapi dan gangrang bulo[1] yang
membahana. Perlahan memecah dan mengusir sepi. Jenis musik seperti ini memang
telah lama langka, kurang
digemari lagi oleh mayoritas masyarakat
Bugis Makassar. Keberadaannya hanya dikenal ketika menjelang pesta adat. Musik atau kesenian lokal seperti ini sudah hampir punah ditelan arus zaman, karena selera musik anak-anak
muda kini adalah musik impor......bersambung....
[1] Musik khas masyarakat Bugis Makassar yang
biasa dimainkan saat dilangsungkan sebuah pesta, baik pesta pernikahan, pesta adat, maupun untuk menyambut kedatangan seorang pejabat negara.
desing bunyi gendang itu masih membahana di telingaku kawan, entah sampai kapan dentuman itu berhenti berdetak, mungkin suatu saat bunyi bising itu juga membahana di butta turatea..
BalasHapussamar-samar masih terdengar, suara kerbau, sapi dan binatang ternak yang lain begitu gembira menikmati datangnya musim hujan...... sama persis dengan kegembiraan beberapa orang pemuda yang memasuki sebuah kampung yang dari jauh kelihatan begitu lusuh tak terurus mungkin pengaruh usia atau mungkin kampung tersebut begitu lusuh karena tak mampu berakselerasi dengan roda jaman.... entahlah........
namun yang pasti kampung tersebut masih tetap menawarkan eksotika yang luar biasa (sejauh mata memandang... yang terlihat hanya kehijauan, bak putri perawan habis berdandan).. mungkin menanti kembali datangnya para pemuda itu.....
Moncongkomba' : yang tersisa, unik, indah menyejukkan, memendam bara perlawanan, memegang warisan leluhur______Tanah yang selalu dirindukan.....
BalasHapusManusia desa memiliki kelebihan yang tdk dimiliki manusia kota. Anak2 perkotaan 'umumnya' cengeng dalam menghadapi kenyataan hidup, sementara yang dari pedalaman lebih survive, berhati dan berkulit baja (perhatikan jari2nya hampir jempol semua dan kasar). Anak2 perkotaan dibesarkan dengan beton, video game, HP, komputer, TV, supermarket, dsbgnya. Sementara yang dari pedalaman dibesarkan dengan serba natural, dan bisa beradaptasi dengan suasana perkotaan, tetapi sangat jarang jika sebaliknya. Manusia kota dibesarkan dengan suasana persaingan, manusia desa dibesarkan dengan suasana persahabatan.....
BalasHapusManusia desa itu tetap berperingai seperti manusia desa kebanyakan, meskipun telah jauh meninggalkan desanya..... manusia itu tetap melawan, melawan nasib yang kadang tak begitu ramah.... tangannya masih tetap kekar seperti dulu kawan, (jari jempol semua, telapak tangan kayak parutan)........... tak ada yang berbeda dari penampilannya yang tetap ndeso... nampak manusia desa itu begitu sibuk mengumpulkan serpihan keyakinannya akan persahabatan... keyakinan yang sempat luluh lantah.....
BalasHapus