Album Foto

Rabu, 06 Februari 2013

BERMULA DARI MONCONGKOMBA

Sore itu langit terlihat agak mendung, tepatnya pukul 15.30 Wita. Suara hembusan angin mulai bergemuruh merontokkan setiap daun dan dahan pohon yang telah lama kering. Sekawanan burung yang tadi pagi dengan indahnya menghias angkasa biru beterbangan dengan bebasnya kini berubah layaknya sampah kering yang tertiup ke sana kemari, kemana pun arah angin menuntunnya. Lantaran sayapnya tak mampu lagi menahan dan mengendalikan laju angin yang mengamuk seperti badai. Mereka pasrah dan berharap cuaca buruk segera berlalu. Berharap bersembunyi dibalik celah pepohonan, atau ditangkainya, rasanya tak mungkin karena dipastikan tidak aman. Saking kencangnya, hamparan padi pun yang baru seminggu ditanam oleh warga kampung secara gotong royong, hampir tercabut dari akar-akarnya. Suara angin itu persis ketika petani sedang marah mengusir kawanan burung yang hendak menghabisi padi mereka…huuuuuus.     
Tiba-tiba saja tampak dari kejauhan sana, serombongan anak muda sedang bermotor. Dari arahnya dapat dipastikan hendak menuju sebuah desa yang bernama Moncongkomba. Karena kencangnya angin tersebut, membuat motor mereka seperti sedang berjoget, terbawa angin. Setelah beberapa menit mereka mengalami keadaan tersebut, cuaca pun akhirnya menjadi normal. Mereka pun melaju dengan rapi seperti barisan bebek yang hendak mencari sesuatu untuk mengisi lambung tengahnya.  
Setelah hampir memasuki desa yang dituju,  tiba-tiba dari arah belakang mereka terdengar suara. Rombongan pemuda tersebut belum bisa memastikan suara apakah gerangan. Mereka saling menatap satu sama lain, berusaha memperjelas suara yang didengarnya. Apakah suara itu adalah suara perempuan yang menangis tersedu-sedu ? atau suara tangisan bayi yang sedang kelaparan meminta asi ? ataukah suara itu dari seseorang yang sedang meminta tolong dengan suara melengking ? tak satu pun diantara mereka yang bisa memastikan. Anak-anak muda itu pun berhenti sejenak dan sama-sama menyimak suara misterius tersebut.  
“ Apakah kalian mendengar sesuatu”, tanya Safar.
“ Iya…” kompak keempat kawannya menjawab kecuali Raja.
“Tadi kudengar, tapi kini menghilang lagi”, tegas Adi.
“ Ah….kalian ini aneh. Dari tadi aku tidak mendengar suara apa-apa, kecuali suara motor kalian yang bising membuat khayalan saya tidak fokus. Karena suara motor kalian, konsentrasi saya buyar”. Muka Raja kurang bersahabat karena merasa khayalannya terganggu. Sudah seminggu ini ia memang sering terlihat murung, sering mengkhayal. Awalnya Raja tak punya niatan ikut bersama rombongan, hanya terpaksa saja, karena di kamar kostnya tiada teman kecuali kesunyian.
“Kau yang aneh. Buktinya kami berlima mendengar suara itu”, jawab Safar dengan suara yang tinggi.
“Kau yang aneh” balas Raja
“Kauuuuu…yang aneh” Safar menjawab lagi, giginya seperti ingin mengigit telinga Raja.
“Sudah-sudah, masalah seperti ini saja kalian ributkan”. Andai bukan karena nasehat Asran, kedua orang tersebut sudah pasti memulai lagi kebiasaan lamanya, saling marah sambil berdebat dan berdebat. Kedua-keduanya dikenal dalam kampusnya sebagai mahasiswa yang paling ahli berdebat. Apalagi jika membincang soal demonstrasi, keduanya adalah mahasiswa yang paling hebat berorasi, mempengaruhi audience, membakar semangat massa mahasiswa. Menurut pengakuan Asran, andai saja ada orang yang mati mendadak karena dicaci-maki atau dikritik, maka dipastikan pemerintah sudah lama meninggal karena cacian dan kritikan (orasi) dari mereka berdua.   
Setelah kurang lebih sepuluh menit berhenti, dan sama-sama mendongakkan kepala ke langit, suara yang aneh itu tak pernah terdengar lagi. Mereka pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Setelah kurang lebih 30 meter bergeser dari tempat semula, Safar yang berada paling belakang mulai mengurangi kecepatan motornya lalu berhenti, lantaran suara itu muncul kembali.
Karena rasa penasarannya bercampur kepeduliaan, Safar berusaha mencari tahu sumber suara itu. Safar pun akhirnya berusaha untuk mempengaruhi teman-temannya agar sama-sama mencari tahu kebenaran suara itu dengan berteriak sejadi-jadinya.             
Weeee…..kawan, pelankan laju motormu. Berhenti sebentar. Weee... Raja….Rajaaaaaaa…berhentiiiiiii...weeee…”, teriak Safar. Raja yang berada didepannya dengan jarak 30 meter dari dia sama sekali tidak menghiraukannya, apalagi Adi, Asran, Alam dan Salam yang berada paling depan dengan jarak 50 meter mendahuluinya.
Safar pun mulai jengkel, naik pitam. Emosinya yang tak terkendali membuat gigi putihnya yang rapat mulai berbunyi seperti sedang makan garoppo’. Rona wajah yang tadinya selalu ceria karena selalu bekelakar, kini hilang seketika berubah menjadi merah penuh kemurkaan.
Setelah lama berteriak akhirnya Raja pun mendengarnya dan berhenti. Raja langsung memutar balik motor bututnya, Supra Fit yang sudah tujuh tahun tak terurus. Rangka atau besi-besinya sudah karatan, velgnya sudah terlihat berbentuk delapan. Menyusuri lumpur hitam, menggebah padang rumput atau tanah yang berdebu adalah rutenya karena kakak dan ayahnya sering mengendarainya ke sawah atau ke kebun ketika Raja pulang kampung.      
“Saya mendengar suara yang begitu aneh, cukup misterius. Apakah kau tidak mendengarnya”, tanya Safar kepada Raja.
“Tunggu sebentar,,,,,,sepertinya iya….”
Kedua orang tersebut bergegas memacu kendaraan bututnya menyusul teman-temannya yang sudah ratusan meter berada di depan. Berharap bisa mengajaknyanya bersama-sama mencari kebenaran suara itu. Kecepatan laju kendaraan mereka berdua seperti sedang berada dalam arena balap motor kelas dunia, mirip Valentino Rossi yang bersaing dengan Jorge Lorenzo memperebutkan juara satu.

***


Sebelum berganti musim, kira-kira luas badan jalan setapak menuju desa itu antara tiga atau empat meter. Dari kejauhan para pengguna jalan sudah bisa saling pandang satu sama lain karena tak ada penghalang. Saat ini setelah kurang lebih sebulan hujan tak mau redah, jalan menuju desa itu banyak berubah. Ibaratnya sedang kedatangan banyak tamu. Tamu tahunan yang sering menghias jagad raya. Bunga-bunga liar yang sering tumbuh di pinggir jalan, satu persatu mulai menampakkan diri.
Pepohonan yang kemarin sangat kurus dan berdiri seksi menjulang tinggi ke langit seketika berganti gaun menutupi seluruh auratnya dengan pakaian baru yang diantar sang hujan. Hamparan sawah membentang luas bergaris-garis kuning kehijau-hijauan pun mengubah rute jalan itu laiknya menjadi jalan tani. Tak tampak seperti jalan setapak menuju sebuah perkampungan.    
Jarak untuk memasuki desa Moncongkomba tinggal dua ratusan meter, itu berarti teman-teman Safar dan Raja sudah duluan memasuki kawasan desa itu. Beruntung karena kecepatan motor mereka, akhirnya dapat mempertemukan mereka dengan kawan-kawannya yang baru saja lima meter memasuki desa tersebut.
“Tega sekali kalian meninggalkan kami. Tak memperdulikan teriakan kami. Dengar saja suaraku sudah berubah, parau karena memanggil kalian”, cetus Raja. Safar yang sebelumnya sudah marah saat meneriaki Raja hanya terdiam dengan mata yang sesekali melotot, sesekali menarik nafas. Keempat kawannya sudah bisa memastikan bahwa dia sedang marah.      
“Sory kawan, saya pikirnya kalian berdua ada dibelakang kami. Kan kita sudah bersepakat agar cepat memasuki desa ini sebelum hari berganti malam”, jawab Asran dengan suara rendah dan wajah yang membujuk.
“Iya kawan, pammopporanga….”, Adi menambahkan. Sengaja ia merendahkan suaranya karena tahu pasti bagaimana jika Safar marah, sangat sulit untuk menormalkan kondisinya. Maklumlah pria yang satu ini karakternya mirip militer. Sebelum dia aktif berkecimpung di organisasi pergerakan mahasiswa, ia adalah mantan pengurus UKM Menwa. Raja sendiri sering mengejek dan memanggilnya Arnol Schwarzenegger (aktor film laga dari California).        
Setelah mereka berkumpul beberapa menit, Raja pun bercerita tentang suara aneh dan misterius tadi. Kali ini mereka berempat tak akan menolak ajakan Safar dan Raja sekaligus untuk menutupi kesalahan ketidaksengajaan mereka.
Mereka pun memutar haluan kembali menuju tempat yang diduga sebagai sumber suara misterius itu. Setelah sampai di tempat itu, keenam pemuda lajang itu secara bergantian menunduk atau mendongakkan kepala ke langit, berusaha memperhatikan dan menunggu munculnya suara misterius itu. Selama lima belas menit mereka menunduk dan mendongak sampai-sampai membuat leher mereka kejang. Salam, Adi dan Alam sudah menunjukkan kekesalannya, betapa membosankan dan melelahkannya menanti kemunculan suara aneh itu. Dari raut wajahnya terpancar suasana batin yang tidak mengenakkan. Adi dan Alam pun hanya bisa menarik nafas, itu pun sudah tidak normal, berkali-kali dia melakukan itu, penuh nada jengkel, kesal.
Sementara ketiga pemuda lainnya, Safar, Raja, dan Asran sama sekali tidak menunjukkan kelelahannya.  
Setelah hampir lima belas menit berada di tempat itu, akhirnya perlahan tapi pasti suara itu pun samar-samar mulai terngiang di telinga mereka.
“Ohh…..saya pasti tidak salah. Saya tahu ini suara apa, bukan suara tangisan perempuan apatah lagi suara tangisan bayi”, spontan Alam menebak. Mereka saling menebak dan tak satu pun yang benar.
“Astagaaaa…….ternyata…..”. Spontan Raja mengeraskan suara. Sementara kawan-kawannya hanya bisa menganga.  
Ternyata suara misterius itu yang mereka perdebatkan, yang hampir membuat mereka saling marah, saling benci satu sama lain, yang membuat mereka ke malaman menuju Moncongkomba,  tidak lain adalah suara kacapi yang berpadu dengan gangrang bulo yang dimainkan oleh tujuh orang paerang bunting. Paerang bunting pria ini memiliki tujuan yang sama dengan rombongan pemuda tersebut yakni menuju desa Moncongkomba, tempat pesta pernikahan dilangsungkan.
Iring-iringan musik kacapi dan gangrang bulo[1] yang membahana. Perlahan memecah dan mengusir sepi. Jenis musik seperti ini memang telah lama langka, kurang digemari lagi oleh mayoritas masyarakat Bugis Makassar. Keberadaannya hanya dikenal ketika menjelang pesta adat. Musik atau kesenian lokal seperti ini sudah hampir punah ditelan arus zaman, karena selera musik anak-anak muda kini adalah musik impor......bersambung....   



[1] Musik khas masyarakat Bugis Makassar yang biasa dimainkan saat dilangsungkan sebuah pesta, baik pesta pernikahan, pesta adat, maupun untuk menyambut kedatangan seorang pejabat negara.

4 komentar:

  1. desing bunyi gendang itu masih membahana di telingaku kawan, entah sampai kapan dentuman itu berhenti berdetak, mungkin suatu saat bunyi bising itu juga membahana di butta turatea..
    samar-samar masih terdengar, suara kerbau, sapi dan binatang ternak yang lain begitu gembira menikmati datangnya musim hujan...... sama persis dengan kegembiraan beberapa orang pemuda yang memasuki sebuah kampung yang dari jauh kelihatan begitu lusuh tak terurus mungkin pengaruh usia atau mungkin kampung tersebut begitu lusuh karena tak mampu berakselerasi dengan roda jaman.... entahlah........
    namun yang pasti kampung tersebut masih tetap menawarkan eksotika yang luar biasa (sejauh mata memandang... yang terlihat hanya kehijauan, bak putri perawan habis berdandan).. mungkin menanti kembali datangnya para pemuda itu.....

    BalasHapus
  2. Moncongkomba' : yang tersisa, unik, indah menyejukkan, memendam bara perlawanan, memegang warisan leluhur______Tanah yang selalu dirindukan.....

    BalasHapus
  3. Manusia desa memiliki kelebihan yang tdk dimiliki manusia kota. Anak2 perkotaan 'umumnya' cengeng dalam menghadapi kenyataan hidup, sementara yang dari pedalaman lebih survive, berhati dan berkulit baja (perhatikan jari2nya hampir jempol semua dan kasar). Anak2 perkotaan dibesarkan dengan beton, video game, HP, komputer, TV, supermarket, dsbgnya. Sementara yang dari pedalaman dibesarkan dengan serba natural, dan bisa beradaptasi dengan suasana perkotaan, tetapi sangat jarang jika sebaliknya. Manusia kota dibesarkan dengan suasana persaingan, manusia desa dibesarkan dengan suasana persahabatan.....

    BalasHapus
  4. Manusia desa itu tetap berperingai seperti manusia desa kebanyakan, meskipun telah jauh meninggalkan desanya..... manusia itu tetap melawan, melawan nasib yang kadang tak begitu ramah.... tangannya masih tetap kekar seperti dulu kawan, (jari jempol semua, telapak tangan kayak parutan)........... tak ada yang berbeda dari penampilannya yang tetap ndeso... nampak manusia desa itu begitu sibuk mengumpulkan serpihan keyakinannya akan persahabatan... keyakinan yang sempat luluh lantah.....

    BalasHapus