Album Foto

Rabu, 01 Desember 2010

Korupsi dan Budaya Siri' Pacce

Oleh : Arman Syarif


Setelah membaca Harian Fajar edisi 11, 14 dan 21 Desember 2009 tentang penghargaan korupsi, betapa malunya penulis bersama dengan rekan-rekan guru sebagai warga Sulsel. Bahwa menurut temuan Bappenas dan ICW, dari 86 kasus korupsi dengan jumlah tersangka 217 orang, sebanyak 26 kasus atau 30,2 persen di antaranya terjadi di Sulsel, sehingga Sulawesi Selatan dikategorikan sebagai provinsi terkorup se-Nusantara. Padahal baru saja sebagian besar masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Sulsel pada khususnya secara massif menyatakan perang melawan korupsi melalui peringatan hari antikorupsi se-dunia pada tanggal 9 Desember 2009 lalu.
Penghargaan ini tentu merupakan pukulan besar bagi rakyat Sulsel. Penghargaan yang begitu memalukan ini sudah semestinya menggugah nurani para penegak hukum untuk lebih serius menindaki para pelaku korupsi. Atau setidaknya penghargaan ini sudah mampu membangkitkan kesadaran kritis masyarakat Sulsel untuk senantiasa melakukan kontrol atas kinerja lembaga-lembaga publik di daerah ini. Betapa ‘bijak’ dan ‘baiknya’ kita jika terus merelakan uang yang disetor ke negara lewat pajak ternyata tidak digunakan untuk membangun kemaslahatan bersama tetapi harus dinikmati oleh segelintir orang dengan cara yang melawan hukum.
Mengutip pandangan Ikhwan Fahroji dkk (2005) bahwa salah satu faktor eksternal penyebab terjadinya korupsi ialah lemahnya pengawasan oleh masyarakat atas institusi publik. Sementara Ian McWalters, mengemukakan bahwa masyarakat seharusnya tidak hanya menerima korupsi itu salah secara sosial dan merugikan sektor ekonomi, tetapi mereka juga harus menyadari akan adanya konsekuensi bersalah secara individual bahwa mereka sebenarnya terlibat didalamnya. Dengan demikian akan lahir sebuah kesadaran bahwa korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) yang memiliki dampak yang luar biasa pula, baik terhadap kemanusiaan, kemaslahatan dan kemajuan sebuah bangsa.

Budaya Siri na Pacce
Apalagi masyarakat Sulsel masih dikenal begitu kental budaya siri dan paccenya. Selain sudah menjadi tuntunan agama dan norma hukum, semestinya dengan budaya siri’ dan pacce itu sudah mampu menuntun dinamika pergaulan hidup Bugis-Makassar dalam seluruh segmen kehidupan untuk selalu menampilkan sisi dan kualitas kemanusiaan yang terbaik tanpa terkecuali di lingkup pemerintahan.
Dalam buku yang berjudul Siri’ ; Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis – Makassar (1995), Laica Marzuki menyatakan bahwa secara harfiahnya (‘leksikal’)-dalam bahasa Bugis-Makassar siri’ berarti rasa malu. Lebih lanjut Laica Marzuki menjelaskan, siri’ sebagai suatu sistem nilai sosiokultural dan kepribadian yang merupakan pranata pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai individu dan anggota masyarakat.
Sementara budayawan Ishak Ngeljaratan sering mendefinisikan pacce atau pesse sebagai kepekaan diri (sense), rasa solidaritas, rasa perikemanusiaan yang menuntut seseorang untuk berempati atau memiliki kepedulian sosial. Dari budaya pacce atau pesse-lah melahirkan nilai dan konsep sipakatau (saling memanusiakan) , sipakala’bere’ (saling menghargai) dan sipakainga’ (saling mengingatkan).
Kini, dengan santernya pemberitaan media massa tentang penghargaan korupsi atas provinsi Sulsel maupun maraknya perilaku korupsi di berbagai daerah, seolah-olah telah menghancurkan seluruh bangunan tata nilai dan kearifan budaya lokal tersebut. Menjungkirbalikkan keluhuran makna budaya siri’ dan pacce. Martabat kedaerahan kita (Sulsel) seolah-olah telah direndahkan, dihinakan, dan dipermalukan hanya karena ulah tangan segelintir orang yang juga adalah simbol kedaerahan, padahal ‘mereka’ telah diberikan amanah dan kepercayaan oleh rakyat untuk mengurusi hajat hidup orang banyak.
Khusus di daerah penulis sendiri (Jeneponto), terkadang ada rasa malu yang muncul. Setiap saat media massa di daerah ini selalu memberitakan tentang korupsi yang terjadi di lingkup institusi pemerintahan. Misalnya tentang temuan BPK-RI beberapa bulan lalu akan adanya indikasi penyelewangan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Jeneponto untuk tahun anggaran 2008 sebesar Rp. 99 Milliar (Fajar, 03/11/09). Atau tentang kasus korupsi pembebasan lahan pembangunan Waduk Kareloe kecamatan Kelara yang merugikan negara sebesar Rp. 5 Milliar, yang sampai saat ini para terpidana belum dieksekusi sekalipun telah ada keputusan hukum yang tetap dari Mahkamah Agung.

Bias Makna Siri’ na Pacce
Semestinya kita berbangga sebagai generasi Bugis-Makassar bahwa para leluhur kita meninggalkan sebuah ajaran atau budaya yang begitu luhur. Sekalipun demikian pada konteks ke kinian, dalam prakteknya keluhuran nilai budaya siri’ dan pacce tersebut banyak mengalami degradasi, pergeseran atau bias makna. Dalam amatan penulis, setidaknya ini terjadi karena beberapa faktor eksternal.
Pertama, mengalami degradasi dan pergeseran makna disebabkan oleh arus modernisasi dan globalisasi. Seseorang dengan mudahnya menjadi sangat individualistik, misalnya menjadi orang kaya yang kehilangan kepedulian (pesse) di tengah masyarakat yang masih banyak miskin. Seorang pejabat negara dengan tanpa rasa malu (siri’) melakukan praktek korupsi di tengah kehidupan rakyatnya yang masih dililiti kesusahan.
Kedua, seringkali seseorang yang memiliki jabatan tertentu dalam sebuah instansi (termasuk pejabat pemerintahan) yang miskin akhlak atau kejujuran menyalahartikan konsep siri’ dan pacce/pesse. Karena tidak mau dikucilkan dan direndahkan ‘martabatnya’ dalam lingkungan keluarga dan kelompoknya, tak sedikit para pemegang kuasa berpikir untuk menyalahgunakan jabatan yang dimilikinya. Misalnya dengan melakukan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.
Sekalipun demikian, penulis tetap berkeyakinan bahwa konsepsi budaya siri’ dan pacce/pesse adalah bagian dari budaya Bugis-Makassar yang begitu luhur yang senantiasa harus dirawat dan dihidupkan. Terutama di tengah gempuran arus globalisasi yang banyak membawa nilai destruktif bagi tatanan hidup orang timur. Dalam hal ini mencakup budaya, etika, moral, dan norma.
Yang paling penting adalah kita bisa merefleksikan ulang makna siri’ dan pacce/pesse sebagai bagian dari budaya lokal yang mengandung nilai-nilai kebaikan dan kebenaran universal yang tidak bisa dibatasi oleh sekat-sekat geografis maupun ikatan primordial kedaerahan. Sebuah budaya (jika tidak ditafsirkan secara kaku dan sempit) bisa mendatangkan kebaikan, keselamatan, dan kemaslahatan hidup, baik bagi kehidupan pribadi seseorang maupun bagi kehidupan sosial kemasyarakatan (temasuk dalam konteks kenegaraan).
Sebuah budaya yang mampu menuntun manusia agar senantiasa berbuat baik dan benar pada diri dan realitas sekitarnya. Misalnya, bisa menuntun diri seorang pejabat pemerintahan daerah untuk senantiasa berbuat yang terbaik (pacce) terhadap rakyat dan daerahnya. Malu (siri’-siri’ki) ketika daerah yang dipimpinnya tertinggal dari daerah lain. Malu ketika daerah yang dipimpinnya dipojokkan oleh daerah lain sebagai daerah yang tinggi tingkat kemiskinan dan penganggurannya. Malu ketika dikenal oleh daerah lain sebagai daerah yang paling rendah pelayanan publiknya. Malu ketika disebut oleh daerah lain sebagai daerah yang tinggi tingkat korupsinya. Semoga saja demikian. Wallahu a’lamu bisshawab.

0 komentar:

Posting Komentar