Album Foto

Rabu, 01 Desember 2010

Negeri yang ‘Lucu’ dan ‘Menyakitkan’

Oleh : Arman Syarif
Mencermati pemberitaan media massa beberapa hari terakhir ini, terutama pasca bencana alam yang melanda saudara-saudara kita di Wasior Papua Barat (4/10/2010), membuat penulis teringat dengan film yang disutradarai oleh aktor senior Deddy Mizwar, berjudul ‘Alangkah Lucunya Negeri Ini’. Sebuah film kritik terhadap kondisi kebangsaan di mana pejabat negara sebagai pihak yang diduga sebagai biangnya. Singkatnya, film tersebut bercerita tentang kemelaratan, kemiskinan rakyat Indonesia sebagai efek dari kinerja pemerintahan atau lembaga-lembaga negara yang dipenuhi praktek korupsi. Efek dari kinerja pemerintahan (lembaga-lembaga negara) yang menjauh dari tujuan hidup bernegara atau mengabaikan tugas dan fungsi utamanya, yakni melindungi, mencerdaskan dan mensejahterahkan rakyatnya (lihat Pembukaan UUD 1945 alinea ke-IV).   
Lucunya negeri ini dalam pandangan Deddy Mizwar, digambarkan pada ending cerita film tersebut, ketika sekelompok anak-anak bangsa yang terpaksa menjadi pencopet lantaran tak punya pendidikan.
Reza Rahadian alias Si Muluk sebagai bintang utama dalam film tersebut berakting sebagai sarjana manajemen yang ke sana-ke mari melamar pekerjaan tapi selalu ditolak.
Di tengah lelahnya mencari pekerjaan, dan agar bisa tetap survive hidup, terpaksa mengelola para pencopet tersebut dengan menerapkan prinsip-prinsip dan disiplin keilmuannya. Mengajari mereka dengan ilmu-ilmu umum, seperti matematika, ilmu agama, ekonomi, bahkan Pancasila dan UUD 1945. Lalu mengajak para pencopet tersebut berhenti dan beralih menjadi pengasong. Dan tentu saja, gaji si Muluk bersama dua teman lainnya yang juga sarjana (Samsul dan Pipit) bersumber dari hasil copetan anak-anak bangsa yang tak sekolah tersebut.    
Ketika sebagian dari mereka (pencopet) mulai sadar dan berusaha menjalani hidupnya sebagai warga negara yang baik alias berubah menjadi pengasong, mereka terpaksa menghadapi kenyataan pahit lagi, yakni diperhadapkan dengan ‘alat negara’, yakni Satpol PP yang bergerak atas instruksi atasan untuk menertibkan (bahasa lain ‘penggusuran’) para pengasong di jalanan karena dianggap sebagai biang kemacetan. Tentu terkesan lucu dan menyakitkan, mencopet adalah perbuatan yang melanggar hukum, mengasong pun dianggap melanggar hukum. Lantas, apa lagi yang harus mereka perbuat agar mendapatkan kehidupan yang layak secara kemanusiaan ? sebagaimana yang diamanahkan UUD 1945 pasal 27 ayat (2), “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Secara substansial, materi film tersebut memiliki kesamaan dengan realitas kebangsaan kita akhir-akhir ini. Hingga kini, sedikitnya 148 orang telah dinyatakan tewas dan 123 lainnya dinyatakan hilang pasca terjadinya banjir bandang di Wasior Papua Barat. Sementara, kita menyaksikan sikap pemerintahan SBY terkesan begitu ‘lamban’. Tentu yang terkesan lucu ketika orang-orang terdekat SBY malah meributkan soal faktor penyebab banjir tersebut, apakah karena faktor alam, ataukah penggundulan hutan ?. Lebih mendahulukan debat ketimbang bertindak dengan tegas dan cepat sambil merumuskan strategi dan upaya solutif penanganan pasca banjir. Malah yang lebih duluan bertindak adalah elemen civil society (seperti pers, mahasiswa, NGO dan masyarakat), misalnya dengan membuka dompet peduli korban banjir.   
Adalah Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan yang menilai bahwa salah satu faktor penyebab bencana itu ialah karena pembalakan hutan. Kesimpulan ini pun dibenarkan oleh Sekjen Kementerian Kehutanan Hadi Daryanto. Dia menegaskan karena pengelolaan pemerintah daerah setempatlah yang menyebabkan daya dukung lingkungan Cagar Alam Wondoboi di Wasior merosot dan akhirnya menimbulkan banjir. Sementara dalam pandangan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Syamsul Maarif, bencana banjir di Wasior bukan karena kerusakan hutan, melainkan karena faktor cuaca yang sangat buruk.
Pandangan Kepala BNPB inilah yang dijadikan dasar oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengambil kesimpulan bahwa bencana banjir di Wasior bukan karena pembalakan. Tentu ini membingungkan publik sekaligus menunjukkan orang-orang terdekat SBY tidak konsisten atau kurang professional dalam bekerja. Menteri Kehutanan pun yang sebelumnya menyimpulkan faktor banjir karena pembalakan, seketika berubah haluan dan ikut-ikutan menyalahkan cuaca sebagai penyebab banjir. Sungguh lucu.
Lucunya sikap elit negara kita ini juga mengingatkan kita pada sikap anggota DPR-RI beberapa bulan lalu ketika berdebat lalu menyimpulkan bahwa penyebab semburan Lumpur Lapindo Brantas yang mengakibatkan tenggelamnya beberapa desa di kabupaten Sidoarjo adalah karena fenomena alam. Benar-benar lucu negeri kita ini.  
Seperti kata Mencius (ahli filsafat Tiongkok), “Jika ada orang yang mati karena kelaparan, keadaanlah (senjata) yang membunuhnya bukan aku”.
Mengakhiri tulisan ini, penulis merasa perlu mengutip rintihan salah seorang rakyat Papua yang dikirim via mailing list “mediacare,” (Kompasiana, 9/10/2010) : Pemerintah, Pejabat dan Pengusaha…!!! Selama ini, kalian telah mengeruk priuk kami. Kalian telah merusak alam kami. Kalian telah menguras alam kami. Alam pun marah, dan, kami yang menjadi sasarannya...Kemanakah kalian semua??? Jangan jadi pengecut! Sadarkah, kalian telah mengambil semuanya dari tanah papua ini. Kini, kami, saudara/i kami, orang tua kami, kaka-adik kami, teman-teman kami, om-tante kami dan sahabat-sobat kami…kami semua membutuhkan bantuan segera…kalian jangan hanya berkoar, menikmati hasil kami sementara kami, “sudah jatuh tertimpa tangga”, ‘tuhan, tolonglah…..!” oleh Pius Klobor. Wallahu a’lam bisshawab. [/]

0 komentar:

Posting Komentar