Album Foto

Rabu, 01 Desember 2010

Satpol PP Versus Rakyat

Oleh : Arman Syarif

Sejak penulis masih kuliah, dalam suasana mid semester mata kuliah Hukum Tata Negara, salah satu pertanyaan yang dimunculkan dosen ialah mengapa polisi kerap berhadap-hadapan dengan mahasiswa dalam setiap aksi unjuk rasa ?. Masih segar dalam ingatan, penulis menjawab: “Karena polisi adalah alat negara atau perpanjangan tangan dari pemerintah yang selalu berada dibaris terdepan mengamankan setiap kebijakan pemerintah. Institusi kepolisian dalam hal ini tidak mau peduli apakah kebijakan pemerintah "benar” atau “salah”, tugas utamanya adalah membela dan mengamankan kebijakan”.
Jika dianalisa lebih jauh, kasus kerusuhan Priok Jakarta Utara tanggal 14 April 2010 lalu yang menewaskan pihak warga dan aparat Satuan Polisi Pamong Praja, tidak bisa kita pisahkan antara kuasa politik dan kuasa ekonomi, dalam arti pemerintah dan pengusaha (Pelindo).
Hemat penulis, Satpol PP dan polisi pada kasus ini hanyalah alat negara/pemerintahan yang bekerja secara “mekanistik” yang siap menjalankan seluruh perintah dari sang atasan, yakni pemerintah. Secara kemanusiaan, Satpol PP juga adalah individu-individu yang menjadi korban. Penulis yakin, jauh dari lubuk hati yang paling dalam, tidak mungkin Satpol PP yang juga sebagai manusia hendak bertindak seperti istilah Thomas Hobbes, menjadi “serigala bagi sesama” atau membunuh. Namun karena keadaan yang “memaksa” (terutama demi pemenuhan kebutuhan), maka dalam keadaan tertentu mau tidak mau tugas Satpol PP adalah menjalankan instruksi tersebut sebagai wujud pengabdian dalam menjalankan tugas.
Tahun 2007 lalu semasa masih menjadi mahasiswa, penulis memiliki sedikit pengalaman pendampingan (bukan provokator) terhadap pedagang kaki lima di kota Makassar. Ketika itu pemerintah kota merencanakan penertiban (penggusuran) melalui surat pemberitahuan agar PKL merapikan barang dagangannya. Atas dasar panggilan nurani kemanusiaan dan permintaan pedagang kaki lima sendiri, spontan penulis dan beberapa teman merasa terpanggil untuk membantu dengan memediasi pedagang kali lima berdialog dengan anggota DPRD kota Makassar.
Dengan berjalan kaki, akhirnya tibalah kami di gedung dewan dengan disambut oleh puluhan Satpol PP yang dilengkapi dengan persenjataan seperti pentungan. Seperti lazimnya Satpol PP bertugas, awalnya mereka menghadang kami, sembari menunggu perintah dari para legislator. Sebelum memasuki ruang aspirasi, beberapa teman secara bergantian melakukan orasi. Saat itu yang memulai berorasi adalah salah seorang teman dari kalangan mahasiswa.
Hanya dengan bersenjatakan megaphone, suara yang lantang, berapi-api dan berisi, rupanya orasi teman saya itu berhasil menyentuh lubuk hati para personil Satpol PP. Beberapa diantaranya terlihat terharu, matanya mulai berkaca-kaca, seolah-olah hendak meneteskan air mata. Atas perintah legislator penerima aspirasi, akhirnya kami pun dipersilahkan masuk untuk berdialog.
Seingat penulis, kata teman saya yang berorasi itu, “...bapak-bapak Satpol PP juga adalah manusia, warga negara Indonesia, yang punya istri dan anak yang butuh untuk dinafkahi. Punya anak yang butuh biaya sekolah. Kalau mereka-mereka (PKL) digusur, lalu dengan cara apa lagi mereka harus menafkahi keluarganya. Siapakah yang harus membiayai sekolah anaknya. Apakah mereka harus menjadi pencuri ?”. Demi pertimbangan strategi aksi, saat itu memang massa aksi sempat mengikutkan seorang bocah kecil usia wajib belajar sembilan tahun.  
Hemat penulis, yang menjadi sumber dan akar persoalan pada kasus kerusuhan Priok adalah pemerintah sendiri, bukan dari pihak Satpol PP. Dengan sebuah asumsi, tidak mungkin Satpol PP bertindak tanpa se pengetahuan dan instruksi dari sang atasan.
Selain itu, belajar dari kasus-kasus bentrokan yang sering terjadi yang melibatkan aparat (alat negara) dan rakyat, muncul sebuah kecendrungan, negara (pemerintah) seolah-olah baru berpihak kepada kepentingan rakyat setelah muncul korban atau ketika sebuah kasus telah disorot oleh publik. Sekalipun sebelumnya pemerintah telah menyadari potensi konflik yang akan muncul di lapangan.
Dalam beberapa kasus, pemerintah (kota) juga cenderung lebih memihak kepada kepentingan pihak pemodal ketimbang kepada kepentingan rakyatnya sendiri, yang bukan tidak mungkin adalah konstituennya sendiri. Dan dalam hal seperti ini, alat negara atau Satpol PP  betul-betul hanya menjadi alat untuk mewujudkan kepentingan kekuasaan ekonomi dan politik.
Alasan umum yang kerap digunakan misalnya; demi pembangunan infrastruktur, pembangunan pusat perbelanjaan, melanggar perda tata ruang kota atau menertibkan demi keindahan dan ketertiban kota. Lalu warga yang mendiami (tanah) di atasnya harus digusur, ditertibkan atau direlokasi ke tempat lain, sekalipun pemerintah telah menyadari pula bahwa tugas utamanya adalah memenuhi hak-hak ekosob warganya, seperti mendapatkan perumahan dan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan.      

Kekerasan dibalas Kekerasan  
Bagaimana pun, negara (pemerintah) selalu membutuhkan keberadaan polisi, tentara, ataupun Satpol PP. Dalam keadaan di mana pemerintahan diwarnai dengan praktek kekacauan, maka alat negara (pemerintah) amatlah dibutuhkan. Dalam keadaan di mana negara mengalami serangan atau ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan (AGHT) yang datangnya dari dalam maupun dari luar, negara selalu membutuhkan alat negara sebagai kekuatan utama. 
Tetapi bagaimana pun juga, secara hukum dan secara kemanusiaan, tindakan “kekerasan” di mana pun tidak dapat dibenarkan. Alat negara (pemerintahan) dihadirkan adalah untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan golongan tertentu. Jika alat negara sudah berkecendrungan berpihak kepada kepentingan tertentu dan berhadap-hadapan dengan rakyatnya, berarti alat negara tersebut telah menyimpang dari hakikat keberadaannya.
Sudah saatnya pemerintah membenahi kelembagaan Satpol PP dengan banyak belajar dari kasus kerusuhan Priok. Dalam menangani kasus-kasus serupa, seharusnya Satpol PP tidak hanya dipersenjatai alat fisik, tetapi juga mesti dipersenjatai dengan pemahaman dan atau cara-cara persuasif dalam menghadapi warga. Misalnya dengan menekankan pentingnya memahami psikologi massa dan cara-cara negosiasi yang efektif. 
Karena alamiah kiranya ketika seorang manusia diperlakukan secara kasar, dipukuli apalagi ditembaki niscaya akan mendapatkan respon perlawanan. Bukankah tindakan kekerasan akan selalu dibalas dengan kekerasan pula. Sebagaimana semut ketika diinjak niscaya akan balik menggigit (melawan).
Yang jauh lebih penting dicermati menurut penulis ialah bahwa nasib alat negara atau Satpol PP sangatlah ditentukan siapa yang menjadi atasannya. Jika sang atasan (pemerintah) banyak dikendalikan atau berpihak kepada kepentingan para pemodal, maka tentu tugas utama Satpol PP adalah untuk mengamankan kepentingan tersebut pula, sekalipun harus berhadapan-hadapan atau mengorbannya kepentingan rakyat. Wallahu a’lamu bisshawab. []

0 komentar:

Posting Komentar