Album Foto

Rabu, 01 Desember 2010

Negeri yang ‘Lucu’ dan ‘Menyakitkan’

Oleh : Arman Syarif
Mencermati pemberitaan media massa beberapa hari terakhir ini, terutama pasca bencana alam yang melanda saudara-saudara kita di Wasior Papua Barat (4/10/2010), membuat penulis teringat dengan film yang disutradarai oleh aktor senior Deddy Mizwar, berjudul ‘Alangkah Lucunya Negeri Ini’. Sebuah film kritik terhadap kondisi kebangsaan di mana pejabat negara sebagai pihak yang diduga sebagai biangnya. Singkatnya, film tersebut bercerita tentang kemelaratan, kemiskinan rakyat Indonesia sebagai efek dari kinerja pemerintahan atau lembaga-lembaga negara yang dipenuhi praktek korupsi. Efek dari kinerja pemerintahan (lembaga-lembaga negara) yang menjauh dari tujuan hidup bernegara atau mengabaikan tugas dan fungsi utamanya, yakni melindungi, mencerdaskan dan mensejahterahkan rakyatnya (lihat Pembukaan UUD 1945 alinea ke-IV).   
Lucunya negeri ini dalam pandangan Deddy Mizwar, digambarkan pada ending cerita film tersebut, ketika sekelompok anak-anak bangsa yang terpaksa menjadi pencopet lantaran tak punya pendidikan.
Reza Rahadian alias Si Muluk sebagai bintang utama dalam film tersebut berakting sebagai sarjana manajemen yang ke sana-ke mari melamar pekerjaan tapi selalu ditolak.
Di tengah lelahnya mencari pekerjaan, dan agar bisa tetap survive hidup, terpaksa mengelola para pencopet tersebut dengan menerapkan prinsip-prinsip dan disiplin keilmuannya. Mengajari mereka dengan ilmu-ilmu umum, seperti matematika, ilmu agama, ekonomi, bahkan Pancasila dan UUD 1945. Lalu mengajak para pencopet tersebut berhenti dan beralih menjadi pengasong. Dan tentu saja, gaji si Muluk bersama dua teman lainnya yang juga sarjana (Samsul dan Pipit) bersumber dari hasil copetan anak-anak bangsa yang tak sekolah tersebut.    
Ketika sebagian dari mereka (pencopet) mulai sadar dan berusaha menjalani hidupnya sebagai warga negara yang baik alias berubah menjadi pengasong, mereka terpaksa menghadapi kenyataan pahit lagi, yakni diperhadapkan dengan ‘alat negara’, yakni Satpol PP yang bergerak atas instruksi atasan untuk menertibkan (bahasa lain ‘penggusuran’) para pengasong di jalanan karena dianggap sebagai biang kemacetan. Tentu terkesan lucu dan menyakitkan, mencopet adalah perbuatan yang melanggar hukum, mengasong pun dianggap melanggar hukum. Lantas, apa lagi yang harus mereka perbuat agar mendapatkan kehidupan yang layak secara kemanusiaan ? sebagaimana yang diamanahkan UUD 1945 pasal 27 ayat (2), “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Secara substansial, materi film tersebut memiliki kesamaan dengan realitas kebangsaan kita akhir-akhir ini. Hingga kini, sedikitnya 148 orang telah dinyatakan tewas dan 123 lainnya dinyatakan hilang pasca terjadinya banjir bandang di Wasior Papua Barat. Sementara, kita menyaksikan sikap pemerintahan SBY terkesan begitu ‘lamban’. Tentu yang terkesan lucu ketika orang-orang terdekat SBY malah meributkan soal faktor penyebab banjir tersebut, apakah karena faktor alam, ataukah penggundulan hutan ?. Lebih mendahulukan debat ketimbang bertindak dengan tegas dan cepat sambil merumuskan strategi dan upaya solutif penanganan pasca banjir. Malah yang lebih duluan bertindak adalah elemen civil society (seperti pers, mahasiswa, NGO dan masyarakat), misalnya dengan membuka dompet peduli korban banjir.   
Adalah Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan yang menilai bahwa salah satu faktor penyebab bencana itu ialah karena pembalakan hutan. Kesimpulan ini pun dibenarkan oleh Sekjen Kementerian Kehutanan Hadi Daryanto. Dia menegaskan karena pengelolaan pemerintah daerah setempatlah yang menyebabkan daya dukung lingkungan Cagar Alam Wondoboi di Wasior merosot dan akhirnya menimbulkan banjir. Sementara dalam pandangan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Syamsul Maarif, bencana banjir di Wasior bukan karena kerusakan hutan, melainkan karena faktor cuaca yang sangat buruk.
Pandangan Kepala BNPB inilah yang dijadikan dasar oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengambil kesimpulan bahwa bencana banjir di Wasior bukan karena pembalakan. Tentu ini membingungkan publik sekaligus menunjukkan orang-orang terdekat SBY tidak konsisten atau kurang professional dalam bekerja. Menteri Kehutanan pun yang sebelumnya menyimpulkan faktor banjir karena pembalakan, seketika berubah haluan dan ikut-ikutan menyalahkan cuaca sebagai penyebab banjir. Sungguh lucu.
Lucunya sikap elit negara kita ini juga mengingatkan kita pada sikap anggota DPR-RI beberapa bulan lalu ketika berdebat lalu menyimpulkan bahwa penyebab semburan Lumpur Lapindo Brantas yang mengakibatkan tenggelamnya beberapa desa di kabupaten Sidoarjo adalah karena fenomena alam. Benar-benar lucu negeri kita ini.  
Seperti kata Mencius (ahli filsafat Tiongkok), “Jika ada orang yang mati karena kelaparan, keadaanlah (senjata) yang membunuhnya bukan aku”.
Mengakhiri tulisan ini, penulis merasa perlu mengutip rintihan salah seorang rakyat Papua yang dikirim via mailing list “mediacare,” (Kompasiana, 9/10/2010) : Pemerintah, Pejabat dan Pengusaha…!!! Selama ini, kalian telah mengeruk priuk kami. Kalian telah merusak alam kami. Kalian telah menguras alam kami. Alam pun marah, dan, kami yang menjadi sasarannya...Kemanakah kalian semua??? Jangan jadi pengecut! Sadarkah, kalian telah mengambil semuanya dari tanah papua ini. Kini, kami, saudara/i kami, orang tua kami, kaka-adik kami, teman-teman kami, om-tante kami dan sahabat-sobat kami…kami semua membutuhkan bantuan segera…kalian jangan hanya berkoar, menikmati hasil kami sementara kami, “sudah jatuh tertimpa tangga”, ‘tuhan, tolonglah…..!” oleh Pius Klobor. Wallahu a’lam bisshawab. [/]

Satpol PP Versus Rakyat

Oleh : Arman Syarif

Sejak penulis masih kuliah, dalam suasana mid semester mata kuliah Hukum Tata Negara, salah satu pertanyaan yang dimunculkan dosen ialah mengapa polisi kerap berhadap-hadapan dengan mahasiswa dalam setiap aksi unjuk rasa ?. Masih segar dalam ingatan, penulis menjawab: “Karena polisi adalah alat negara atau perpanjangan tangan dari pemerintah yang selalu berada dibaris terdepan mengamankan setiap kebijakan pemerintah. Institusi kepolisian dalam hal ini tidak mau peduli apakah kebijakan pemerintah "benar” atau “salah”, tugas utamanya adalah membela dan mengamankan kebijakan”.
Jika dianalisa lebih jauh, kasus kerusuhan Priok Jakarta Utara tanggal 14 April 2010 lalu yang menewaskan pihak warga dan aparat Satuan Polisi Pamong Praja, tidak bisa kita pisahkan antara kuasa politik dan kuasa ekonomi, dalam arti pemerintah dan pengusaha (Pelindo).
Hemat penulis, Satpol PP dan polisi pada kasus ini hanyalah alat negara/pemerintahan yang bekerja secara “mekanistik” yang siap menjalankan seluruh perintah dari sang atasan, yakni pemerintah. Secara kemanusiaan, Satpol PP juga adalah individu-individu yang menjadi korban. Penulis yakin, jauh dari lubuk hati yang paling dalam, tidak mungkin Satpol PP yang juga sebagai manusia hendak bertindak seperti istilah Thomas Hobbes, menjadi “serigala bagi sesama” atau membunuh. Namun karena keadaan yang “memaksa” (terutama demi pemenuhan kebutuhan), maka dalam keadaan tertentu mau tidak mau tugas Satpol PP adalah menjalankan instruksi tersebut sebagai wujud pengabdian dalam menjalankan tugas.
Tahun 2007 lalu semasa masih menjadi mahasiswa, penulis memiliki sedikit pengalaman pendampingan (bukan provokator) terhadap pedagang kaki lima di kota Makassar. Ketika itu pemerintah kota merencanakan penertiban (penggusuran) melalui surat pemberitahuan agar PKL merapikan barang dagangannya. Atas dasar panggilan nurani kemanusiaan dan permintaan pedagang kaki lima sendiri, spontan penulis dan beberapa teman merasa terpanggil untuk membantu dengan memediasi pedagang kali lima berdialog dengan anggota DPRD kota Makassar.
Dengan berjalan kaki, akhirnya tibalah kami di gedung dewan dengan disambut oleh puluhan Satpol PP yang dilengkapi dengan persenjataan seperti pentungan. Seperti lazimnya Satpol PP bertugas, awalnya mereka menghadang kami, sembari menunggu perintah dari para legislator. Sebelum memasuki ruang aspirasi, beberapa teman secara bergantian melakukan orasi. Saat itu yang memulai berorasi adalah salah seorang teman dari kalangan mahasiswa.
Hanya dengan bersenjatakan megaphone, suara yang lantang, berapi-api dan berisi, rupanya orasi teman saya itu berhasil menyentuh lubuk hati para personil Satpol PP. Beberapa diantaranya terlihat terharu, matanya mulai berkaca-kaca, seolah-olah hendak meneteskan air mata. Atas perintah legislator penerima aspirasi, akhirnya kami pun dipersilahkan masuk untuk berdialog.
Seingat penulis, kata teman saya yang berorasi itu, “...bapak-bapak Satpol PP juga adalah manusia, warga negara Indonesia, yang punya istri dan anak yang butuh untuk dinafkahi. Punya anak yang butuh biaya sekolah. Kalau mereka-mereka (PKL) digusur, lalu dengan cara apa lagi mereka harus menafkahi keluarganya. Siapakah yang harus membiayai sekolah anaknya. Apakah mereka harus menjadi pencuri ?”. Demi pertimbangan strategi aksi, saat itu memang massa aksi sempat mengikutkan seorang bocah kecil usia wajib belajar sembilan tahun.  
Hemat penulis, yang menjadi sumber dan akar persoalan pada kasus kerusuhan Priok adalah pemerintah sendiri, bukan dari pihak Satpol PP. Dengan sebuah asumsi, tidak mungkin Satpol PP bertindak tanpa se pengetahuan dan instruksi dari sang atasan.
Selain itu, belajar dari kasus-kasus bentrokan yang sering terjadi yang melibatkan aparat (alat negara) dan rakyat, muncul sebuah kecendrungan, negara (pemerintah) seolah-olah baru berpihak kepada kepentingan rakyat setelah muncul korban atau ketika sebuah kasus telah disorot oleh publik. Sekalipun sebelumnya pemerintah telah menyadari potensi konflik yang akan muncul di lapangan.
Dalam beberapa kasus, pemerintah (kota) juga cenderung lebih memihak kepada kepentingan pihak pemodal ketimbang kepada kepentingan rakyatnya sendiri, yang bukan tidak mungkin adalah konstituennya sendiri. Dan dalam hal seperti ini, alat negara atau Satpol PP  betul-betul hanya menjadi alat untuk mewujudkan kepentingan kekuasaan ekonomi dan politik.
Alasan umum yang kerap digunakan misalnya; demi pembangunan infrastruktur, pembangunan pusat perbelanjaan, melanggar perda tata ruang kota atau menertibkan demi keindahan dan ketertiban kota. Lalu warga yang mendiami (tanah) di atasnya harus digusur, ditertibkan atau direlokasi ke tempat lain, sekalipun pemerintah telah menyadari pula bahwa tugas utamanya adalah memenuhi hak-hak ekosob warganya, seperti mendapatkan perumahan dan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan.      

Kekerasan dibalas Kekerasan  
Bagaimana pun, negara (pemerintah) selalu membutuhkan keberadaan polisi, tentara, ataupun Satpol PP. Dalam keadaan di mana pemerintahan diwarnai dengan praktek kekacauan, maka alat negara (pemerintah) amatlah dibutuhkan. Dalam keadaan di mana negara mengalami serangan atau ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan (AGHT) yang datangnya dari dalam maupun dari luar, negara selalu membutuhkan alat negara sebagai kekuatan utama. 
Tetapi bagaimana pun juga, secara hukum dan secara kemanusiaan, tindakan “kekerasan” di mana pun tidak dapat dibenarkan. Alat negara (pemerintahan) dihadirkan adalah untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan golongan tertentu. Jika alat negara sudah berkecendrungan berpihak kepada kepentingan tertentu dan berhadap-hadapan dengan rakyatnya, berarti alat negara tersebut telah menyimpang dari hakikat keberadaannya.
Sudah saatnya pemerintah membenahi kelembagaan Satpol PP dengan banyak belajar dari kasus kerusuhan Priok. Dalam menangani kasus-kasus serupa, seharusnya Satpol PP tidak hanya dipersenjatai alat fisik, tetapi juga mesti dipersenjatai dengan pemahaman dan atau cara-cara persuasif dalam menghadapi warga. Misalnya dengan menekankan pentingnya memahami psikologi massa dan cara-cara negosiasi yang efektif. 
Karena alamiah kiranya ketika seorang manusia diperlakukan secara kasar, dipukuli apalagi ditembaki niscaya akan mendapatkan respon perlawanan. Bukankah tindakan kekerasan akan selalu dibalas dengan kekerasan pula. Sebagaimana semut ketika diinjak niscaya akan balik menggigit (melawan).
Yang jauh lebih penting dicermati menurut penulis ialah bahwa nasib alat negara atau Satpol PP sangatlah ditentukan siapa yang menjadi atasannya. Jika sang atasan (pemerintah) banyak dikendalikan atau berpihak kepada kepentingan para pemodal, maka tentu tugas utama Satpol PP adalah untuk mengamankan kepentingan tersebut pula, sekalipun harus berhadapan-hadapan atau mengorbannya kepentingan rakyat. Wallahu a’lamu bisshawab. []

Di Sekitar Penolakan Pembangunan Gereja

Oleh : Arman Syarif


Minggu malam 11 April lalu, penulis menerima SMS dari salah seorang teman dari kampung, namanya Jabal Nur. Dia menyarankan agar secepatnya menonton TV, mendengar berita liputan SCTV. Tentang penyegelan sarana peribadatan (gereja) oleh aliansi ormas keagamaan bersama masyarakat di jalan Karya di kabupaten Jeneponto. Secara substansial, penyegelan ini merupakan bentuk penolakan warga Jeneponto terhadap masuk dan berkembangnya agama lain. Sebenarnya sikap penolakan seperti ini dengan melarang pembangunan gereja bukanlah hal baru, beberapa tahun sebelumnya juga pernah dilakukan oleh warga.
Saya sendiri adalah warga Jeneponto. Saya menjadi heran, agama (Islam) telah mengajarkan agar menghargai perbedaan, menghargai pemeluk agama dan kepercayaan lainnya. Tetapi mengapa dalam prakteknya realitasnya sangat sulit kita temukan, terutama di kabupaten Jeneponto. Sebuah daerah yang penduduknya kurang lebih berjumlah 330.735 jiwa dengan mayoritas muslim. Dan kondisi ini masih berlangsung sampai saat ini. Jeneponto masih dikenal begitu isolatif dan resisten menolak masuknya agama lain, ini terbukti dengan tidak adanya gereja atau tempat-tempat peribadatan agama lainnya.     
Sebenarnya penulis sendiri bukanlah ahli agama atau banyak paham tentang agama. Penulis hanya teringat dengan salah satu isi teks ajaran Islam dalam Al-Quran surat Al Kaafiruun “…untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku" atau ayat tentang tidak ada paksaan dalam hal beragama (Qs. Al-Baqarah : 56). Atau tentang kisah hidup Nabiullah Muhammad Saw di Madinah. Saat itu nabi begitu menghargai bahkan melindungi pemeluk agama dan kepercayaan lainnya. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Nabi pernah dilindungi oleh raja Habsy yang beragama Nasrani, ketika itu nabi mengamankan diri dari incaran kafir Qurais. Ayat dan kisah ini semestinya sudah cukup memberi pelajaran kepada kita bahwa dalam hal beragama dalam konteks kehidupan bermasyarakat, seorang mukmin haruslah memberi rasa toleransi kepada pemeluk agama lain, tidak menghalang-halangi, mencegah dalam mengembangkan ajaran apalagi dengan menggunakan cara-cara kekerasan.

Sebagai Hak Asasi
Negara Indonesia bukanlah negara agama, tetapi bukan pula negara yang sekuler. Prinsip ini telah menjadi aksioma bagi kehidupan beragama dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejak dahulu para founding father telah menghadirkan Pancasila sebagai ideologi nasional. Sebuah ideologi alternatif, yang lahir dari pertarungan kelompok yang berhaluan (ideologi) Marxis, Nasionalis dan Islam. Sebuah ideologi yang konteks dengan dengan kondisi sosio-kultural Indonesia yang beragam secara suku, agama, ras, budaya, bahasa dan golongan.
Agama dalam ideologi nasional ini telah mendapatkan porsi yang begitu besar. Hal ini dapat dilihat pada sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Secara tersirat, dasar negara kita ini (Pancasila) hendak menjelaskan bahwa negara ini adalah negara yang bertuhan, negara yang beragama, negara yang mengakui banyak agama (resmi). Bahwa memeluk agama dan mengembangkannya sebagai hak asasi.
UUD 1945 pun telah menerjemahkan konsep ini pada pasal 29 ayat (2) “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu”. Di dalam Undang-Undang 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pun telah diatur pada pasal 22 ayat (1) dan (2) bahwa setiap orang (manusia Indonesia) bebas memeluk agama. Bahkan dalam UUD 1945 pasal 28I ayat (4) dan dalam UU HAM telah diatur bahwa negara (pemerintah) memiliki kewajiban dan tanggungjawab untuk menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak asasi manusia.
Lalu mengapa dalam kenyataanya, masih saja kita menyaksikan ada sebagian warga yang membuat warga lainnya tidak merasa aman dan nyaman dalam beragama atau dalam mengembangkan agamanya ?
Pertanyaan ini tentu membutuhkan pengkajian yang lebih mendalam lagi. Penulis hanya heran mengapa warga Jeneponto begitu “buas” melakukan penolakan terhadap pembangunan gereja. Seolah-olah itu adalah perintah dan misi suci yang harus dijalankan, bahwa dengan memerangi dan menghalang-halangi pendirian gereja jaminannya adalah masuk surga. Seolah-olah tidak ada lagi persoalan agama yang lain yang jauh lebih vital untuk diurusi. Sebut saja persoalan ketertinggalan Jeneponto dengan daerah lain dalam hal Indeks Pembangunan Manusianya yang berada pada peringkat ke-23 di antara seluruh kabupaten di Sul-Sel.
Atau persoalan “maraknya” praktek korupsi, sehingga tak salah jika pada tahun 2009 lalu Badan Pengawas Keuangan (BPK-RI) menemukan ada indikasi penyelewangan APBD Jeneponto sekitar Rp. 99 M. Hemat penulis, adalah jauh lebih mulia dan lebih produktif jika sebagian besar warga Jeneponto secara massif dan kolektif menolak dan memerangi kedua hal di atas. Memerangi masalah yang membuat warga tidak khusyuk dalam beribadah, yang membuat para warga Jeneponto ketika musim kemarau tiba harus hijrah ke daerah lain menjadi pedagang kaki lima, pekerja kasar, buruh pabrik atau daeng becak demi sesuap nasi.
Sudah saatnya keberagamaan kita (dalam bahasa Munir Mulkhan, 2005) tidak hanya sibuk “memanjakan” atau “ngurusi” Tuhan, tetapi mestinya (juga) menjadi sibuk mengurusi persoalan kemanusiaan. Masalah-masalah yang menyebabkan keterbelakangan dan ketertinggalan bagi dunia Islam. Misalnya persoalan kemiskinan dan ketidakadilan sosial yang dalam pandangan para ahli merupakan salah satu penyebab munculnya praktek kekerasan.

Efek Sosiologis
Penulis pun menjadi khawatir akan efek sosiologis dari kasus ini, yang dapat memicu timbulnya konflik horisontal yang berkepanjangan. Bukan hanya bisa terjadi di kabupaten di Jeneponto saja, tetapi dapat berimplikasi di daerah lain. Bukanlah hal yang bermuluk-muluk, kasus ini jika diketahui oleh pemeluk agama lainnya (Kristen) bisa membuat darahnya membuncah, memompa rasa amarah untuk melakukan hal yang sama. Misalnya melarang warga muslim mendirikan tempat peribadatan (masjid) di daerah-daerah di mana orang-orang Islam menjadi kelompok yang minoritas. Seperti yang terjadi di kota Monokwari Papua yang menolak pembangunan mesjid. Dua kasus ini menurut penulis adalah kondisi yang dapat mengancam keharmonisan hidup beragama.
Adalah tugas pemerintah dan para pembesar agama yang mesti memberikan penyadaran kepada warga bahwa negara ini adalah negara yang menghargai, menjamin dan melindungi keberagaman. Jika pemerintah pasif dalam menyikapi kasus ini dan kasus-kasus kekerasan agama lainnya, dalam bentuk pembiaran, maka sudah cukup menjadi bukti bahwa negara (pemerintah) telah melakukan pelanggaran HAM sebagaimana definisi pelanggaran HAM menurut UU No. 39 tahun 1999 pada pasal 1 ayat (6) yang berbunyi ” Setiap perbuatan seseorang atau kelompok termasuk aparat negara, baik sengaja atau tidak disengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum, mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin dalam undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku ”.
Jangan sampai para iblis dan kelompok ateis menertawai kita, dengan berasumsi bahwa orang-orang beragamalah yang membuat kekacauan dalam hidup ini. Agama adalah candu bagi masyarakat, agama adalah produk kebodohan dan milik orang-orang yang tidak waras cara berpikirnya. Wallahu a’lamu bisshawab. [/]

Korupsi dan Budaya Siri' Pacce

Oleh : Arman Syarif


Setelah membaca Harian Fajar edisi 11, 14 dan 21 Desember 2009 tentang penghargaan korupsi, betapa malunya penulis bersama dengan rekan-rekan guru sebagai warga Sulsel. Bahwa menurut temuan Bappenas dan ICW, dari 86 kasus korupsi dengan jumlah tersangka 217 orang, sebanyak 26 kasus atau 30,2 persen di antaranya terjadi di Sulsel, sehingga Sulawesi Selatan dikategorikan sebagai provinsi terkorup se-Nusantara. Padahal baru saja sebagian besar masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Sulsel pada khususnya secara massif menyatakan perang melawan korupsi melalui peringatan hari antikorupsi se-dunia pada tanggal 9 Desember 2009 lalu.
Penghargaan ini tentu merupakan pukulan besar bagi rakyat Sulsel. Penghargaan yang begitu memalukan ini sudah semestinya menggugah nurani para penegak hukum untuk lebih serius menindaki para pelaku korupsi. Atau setidaknya penghargaan ini sudah mampu membangkitkan kesadaran kritis masyarakat Sulsel untuk senantiasa melakukan kontrol atas kinerja lembaga-lembaga publik di daerah ini. Betapa ‘bijak’ dan ‘baiknya’ kita jika terus merelakan uang yang disetor ke negara lewat pajak ternyata tidak digunakan untuk membangun kemaslahatan bersama tetapi harus dinikmati oleh segelintir orang dengan cara yang melawan hukum.
Mengutip pandangan Ikhwan Fahroji dkk (2005) bahwa salah satu faktor eksternal penyebab terjadinya korupsi ialah lemahnya pengawasan oleh masyarakat atas institusi publik. Sementara Ian McWalters, mengemukakan bahwa masyarakat seharusnya tidak hanya menerima korupsi itu salah secara sosial dan merugikan sektor ekonomi, tetapi mereka juga harus menyadari akan adanya konsekuensi bersalah secara individual bahwa mereka sebenarnya terlibat didalamnya. Dengan demikian akan lahir sebuah kesadaran bahwa korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) yang memiliki dampak yang luar biasa pula, baik terhadap kemanusiaan, kemaslahatan dan kemajuan sebuah bangsa.

Budaya Siri na Pacce
Apalagi masyarakat Sulsel masih dikenal begitu kental budaya siri dan paccenya. Selain sudah menjadi tuntunan agama dan norma hukum, semestinya dengan budaya siri’ dan pacce itu sudah mampu menuntun dinamika pergaulan hidup Bugis-Makassar dalam seluruh segmen kehidupan untuk selalu menampilkan sisi dan kualitas kemanusiaan yang terbaik tanpa terkecuali di lingkup pemerintahan.
Dalam buku yang berjudul Siri’ ; Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis – Makassar (1995), Laica Marzuki menyatakan bahwa secara harfiahnya (‘leksikal’)-dalam bahasa Bugis-Makassar siri’ berarti rasa malu. Lebih lanjut Laica Marzuki menjelaskan, siri’ sebagai suatu sistem nilai sosiokultural dan kepribadian yang merupakan pranata pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai individu dan anggota masyarakat.
Sementara budayawan Ishak Ngeljaratan sering mendefinisikan pacce atau pesse sebagai kepekaan diri (sense), rasa solidaritas, rasa perikemanusiaan yang menuntut seseorang untuk berempati atau memiliki kepedulian sosial. Dari budaya pacce atau pesse-lah melahirkan nilai dan konsep sipakatau (saling memanusiakan) , sipakala’bere’ (saling menghargai) dan sipakainga’ (saling mengingatkan).
Kini, dengan santernya pemberitaan media massa tentang penghargaan korupsi atas provinsi Sulsel maupun maraknya perilaku korupsi di berbagai daerah, seolah-olah telah menghancurkan seluruh bangunan tata nilai dan kearifan budaya lokal tersebut. Menjungkirbalikkan keluhuran makna budaya siri’ dan pacce. Martabat kedaerahan kita (Sulsel) seolah-olah telah direndahkan, dihinakan, dan dipermalukan hanya karena ulah tangan segelintir orang yang juga adalah simbol kedaerahan, padahal ‘mereka’ telah diberikan amanah dan kepercayaan oleh rakyat untuk mengurusi hajat hidup orang banyak.
Khusus di daerah penulis sendiri (Jeneponto), terkadang ada rasa malu yang muncul. Setiap saat media massa di daerah ini selalu memberitakan tentang korupsi yang terjadi di lingkup institusi pemerintahan. Misalnya tentang temuan BPK-RI beberapa bulan lalu akan adanya indikasi penyelewangan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Jeneponto untuk tahun anggaran 2008 sebesar Rp. 99 Milliar (Fajar, 03/11/09). Atau tentang kasus korupsi pembebasan lahan pembangunan Waduk Kareloe kecamatan Kelara yang merugikan negara sebesar Rp. 5 Milliar, yang sampai saat ini para terpidana belum dieksekusi sekalipun telah ada keputusan hukum yang tetap dari Mahkamah Agung.

Bias Makna Siri’ na Pacce
Semestinya kita berbangga sebagai generasi Bugis-Makassar bahwa para leluhur kita meninggalkan sebuah ajaran atau budaya yang begitu luhur. Sekalipun demikian pada konteks ke kinian, dalam prakteknya keluhuran nilai budaya siri’ dan pacce tersebut banyak mengalami degradasi, pergeseran atau bias makna. Dalam amatan penulis, setidaknya ini terjadi karena beberapa faktor eksternal.
Pertama, mengalami degradasi dan pergeseran makna disebabkan oleh arus modernisasi dan globalisasi. Seseorang dengan mudahnya menjadi sangat individualistik, misalnya menjadi orang kaya yang kehilangan kepedulian (pesse) di tengah masyarakat yang masih banyak miskin. Seorang pejabat negara dengan tanpa rasa malu (siri’) melakukan praktek korupsi di tengah kehidupan rakyatnya yang masih dililiti kesusahan.
Kedua, seringkali seseorang yang memiliki jabatan tertentu dalam sebuah instansi (termasuk pejabat pemerintahan) yang miskin akhlak atau kejujuran menyalahartikan konsep siri’ dan pacce/pesse. Karena tidak mau dikucilkan dan direndahkan ‘martabatnya’ dalam lingkungan keluarga dan kelompoknya, tak sedikit para pemegang kuasa berpikir untuk menyalahgunakan jabatan yang dimilikinya. Misalnya dengan melakukan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.
Sekalipun demikian, penulis tetap berkeyakinan bahwa konsepsi budaya siri’ dan pacce/pesse adalah bagian dari budaya Bugis-Makassar yang begitu luhur yang senantiasa harus dirawat dan dihidupkan. Terutama di tengah gempuran arus globalisasi yang banyak membawa nilai destruktif bagi tatanan hidup orang timur. Dalam hal ini mencakup budaya, etika, moral, dan norma.
Yang paling penting adalah kita bisa merefleksikan ulang makna siri’ dan pacce/pesse sebagai bagian dari budaya lokal yang mengandung nilai-nilai kebaikan dan kebenaran universal yang tidak bisa dibatasi oleh sekat-sekat geografis maupun ikatan primordial kedaerahan. Sebuah budaya (jika tidak ditafsirkan secara kaku dan sempit) bisa mendatangkan kebaikan, keselamatan, dan kemaslahatan hidup, baik bagi kehidupan pribadi seseorang maupun bagi kehidupan sosial kemasyarakatan (temasuk dalam konteks kenegaraan).
Sebuah budaya yang mampu menuntun manusia agar senantiasa berbuat baik dan benar pada diri dan realitas sekitarnya. Misalnya, bisa menuntun diri seorang pejabat pemerintahan daerah untuk senantiasa berbuat yang terbaik (pacce) terhadap rakyat dan daerahnya. Malu (siri’-siri’ki) ketika daerah yang dipimpinnya tertinggal dari daerah lain. Malu ketika daerah yang dipimpinnya dipojokkan oleh daerah lain sebagai daerah yang tinggi tingkat kemiskinan dan penganggurannya. Malu ketika dikenal oleh daerah lain sebagai daerah yang paling rendah pelayanan publiknya. Malu ketika disebut oleh daerah lain sebagai daerah yang tinggi tingkat korupsinya. Semoga saja demikian. Wallahu a’lamu bisshawab.