Album Foto

Rabu, 01 Desember 2010

Di Sekitar Penolakan Pembangunan Gereja

Oleh : Arman Syarif


Minggu malam 11 April lalu, penulis menerima SMS dari salah seorang teman dari kampung, namanya Jabal Nur. Dia menyarankan agar secepatnya menonton TV, mendengar berita liputan SCTV. Tentang penyegelan sarana peribadatan (gereja) oleh aliansi ormas keagamaan bersama masyarakat di jalan Karya di kabupaten Jeneponto. Secara substansial, penyegelan ini merupakan bentuk penolakan warga Jeneponto terhadap masuk dan berkembangnya agama lain. Sebenarnya sikap penolakan seperti ini dengan melarang pembangunan gereja bukanlah hal baru, beberapa tahun sebelumnya juga pernah dilakukan oleh warga.
Saya sendiri adalah warga Jeneponto. Saya menjadi heran, agama (Islam) telah mengajarkan agar menghargai perbedaan, menghargai pemeluk agama dan kepercayaan lainnya. Tetapi mengapa dalam prakteknya realitasnya sangat sulit kita temukan, terutama di kabupaten Jeneponto. Sebuah daerah yang penduduknya kurang lebih berjumlah 330.735 jiwa dengan mayoritas muslim. Dan kondisi ini masih berlangsung sampai saat ini. Jeneponto masih dikenal begitu isolatif dan resisten menolak masuknya agama lain, ini terbukti dengan tidak adanya gereja atau tempat-tempat peribadatan agama lainnya.     
Sebenarnya penulis sendiri bukanlah ahli agama atau banyak paham tentang agama. Penulis hanya teringat dengan salah satu isi teks ajaran Islam dalam Al-Quran surat Al Kaafiruun “…untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku" atau ayat tentang tidak ada paksaan dalam hal beragama (Qs. Al-Baqarah : 56). Atau tentang kisah hidup Nabiullah Muhammad Saw di Madinah. Saat itu nabi begitu menghargai bahkan melindungi pemeluk agama dan kepercayaan lainnya. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Nabi pernah dilindungi oleh raja Habsy yang beragama Nasrani, ketika itu nabi mengamankan diri dari incaran kafir Qurais. Ayat dan kisah ini semestinya sudah cukup memberi pelajaran kepada kita bahwa dalam hal beragama dalam konteks kehidupan bermasyarakat, seorang mukmin haruslah memberi rasa toleransi kepada pemeluk agama lain, tidak menghalang-halangi, mencegah dalam mengembangkan ajaran apalagi dengan menggunakan cara-cara kekerasan.

Sebagai Hak Asasi
Negara Indonesia bukanlah negara agama, tetapi bukan pula negara yang sekuler. Prinsip ini telah menjadi aksioma bagi kehidupan beragama dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejak dahulu para founding father telah menghadirkan Pancasila sebagai ideologi nasional. Sebuah ideologi alternatif, yang lahir dari pertarungan kelompok yang berhaluan (ideologi) Marxis, Nasionalis dan Islam. Sebuah ideologi yang konteks dengan dengan kondisi sosio-kultural Indonesia yang beragam secara suku, agama, ras, budaya, bahasa dan golongan.
Agama dalam ideologi nasional ini telah mendapatkan porsi yang begitu besar. Hal ini dapat dilihat pada sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Secara tersirat, dasar negara kita ini (Pancasila) hendak menjelaskan bahwa negara ini adalah negara yang bertuhan, negara yang beragama, negara yang mengakui banyak agama (resmi). Bahwa memeluk agama dan mengembangkannya sebagai hak asasi.
UUD 1945 pun telah menerjemahkan konsep ini pada pasal 29 ayat (2) “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu”. Di dalam Undang-Undang 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pun telah diatur pada pasal 22 ayat (1) dan (2) bahwa setiap orang (manusia Indonesia) bebas memeluk agama. Bahkan dalam UUD 1945 pasal 28I ayat (4) dan dalam UU HAM telah diatur bahwa negara (pemerintah) memiliki kewajiban dan tanggungjawab untuk menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak asasi manusia.
Lalu mengapa dalam kenyataanya, masih saja kita menyaksikan ada sebagian warga yang membuat warga lainnya tidak merasa aman dan nyaman dalam beragama atau dalam mengembangkan agamanya ?
Pertanyaan ini tentu membutuhkan pengkajian yang lebih mendalam lagi. Penulis hanya heran mengapa warga Jeneponto begitu “buas” melakukan penolakan terhadap pembangunan gereja. Seolah-olah itu adalah perintah dan misi suci yang harus dijalankan, bahwa dengan memerangi dan menghalang-halangi pendirian gereja jaminannya adalah masuk surga. Seolah-olah tidak ada lagi persoalan agama yang lain yang jauh lebih vital untuk diurusi. Sebut saja persoalan ketertinggalan Jeneponto dengan daerah lain dalam hal Indeks Pembangunan Manusianya yang berada pada peringkat ke-23 di antara seluruh kabupaten di Sul-Sel.
Atau persoalan “maraknya” praktek korupsi, sehingga tak salah jika pada tahun 2009 lalu Badan Pengawas Keuangan (BPK-RI) menemukan ada indikasi penyelewangan APBD Jeneponto sekitar Rp. 99 M. Hemat penulis, adalah jauh lebih mulia dan lebih produktif jika sebagian besar warga Jeneponto secara massif dan kolektif menolak dan memerangi kedua hal di atas. Memerangi masalah yang membuat warga tidak khusyuk dalam beribadah, yang membuat para warga Jeneponto ketika musim kemarau tiba harus hijrah ke daerah lain menjadi pedagang kaki lima, pekerja kasar, buruh pabrik atau daeng becak demi sesuap nasi.
Sudah saatnya keberagamaan kita (dalam bahasa Munir Mulkhan, 2005) tidak hanya sibuk “memanjakan” atau “ngurusi” Tuhan, tetapi mestinya (juga) menjadi sibuk mengurusi persoalan kemanusiaan. Masalah-masalah yang menyebabkan keterbelakangan dan ketertinggalan bagi dunia Islam. Misalnya persoalan kemiskinan dan ketidakadilan sosial yang dalam pandangan para ahli merupakan salah satu penyebab munculnya praktek kekerasan.

Efek Sosiologis
Penulis pun menjadi khawatir akan efek sosiologis dari kasus ini, yang dapat memicu timbulnya konflik horisontal yang berkepanjangan. Bukan hanya bisa terjadi di kabupaten di Jeneponto saja, tetapi dapat berimplikasi di daerah lain. Bukanlah hal yang bermuluk-muluk, kasus ini jika diketahui oleh pemeluk agama lainnya (Kristen) bisa membuat darahnya membuncah, memompa rasa amarah untuk melakukan hal yang sama. Misalnya melarang warga muslim mendirikan tempat peribadatan (masjid) di daerah-daerah di mana orang-orang Islam menjadi kelompok yang minoritas. Seperti yang terjadi di kota Monokwari Papua yang menolak pembangunan mesjid. Dua kasus ini menurut penulis adalah kondisi yang dapat mengancam keharmonisan hidup beragama.
Adalah tugas pemerintah dan para pembesar agama yang mesti memberikan penyadaran kepada warga bahwa negara ini adalah negara yang menghargai, menjamin dan melindungi keberagaman. Jika pemerintah pasif dalam menyikapi kasus ini dan kasus-kasus kekerasan agama lainnya, dalam bentuk pembiaran, maka sudah cukup menjadi bukti bahwa negara (pemerintah) telah melakukan pelanggaran HAM sebagaimana definisi pelanggaran HAM menurut UU No. 39 tahun 1999 pada pasal 1 ayat (6) yang berbunyi ” Setiap perbuatan seseorang atau kelompok termasuk aparat negara, baik sengaja atau tidak disengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum, mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin dalam undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku ”.
Jangan sampai para iblis dan kelompok ateis menertawai kita, dengan berasumsi bahwa orang-orang beragamalah yang membuat kekacauan dalam hidup ini. Agama adalah candu bagi masyarakat, agama adalah produk kebodohan dan milik orang-orang yang tidak waras cara berpikirnya. Wallahu a’lamu bisshawab. [/]

3 komentar:

  1. ni bang isi skb dua mentri tentang pembuatan tempat peribadahan...
    1 Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadah
    paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah....
    2 Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa.
    3. Rekomendasi tertulis Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota.
    4. Rekomendasi tertulis FKUB (Forum Komunikasi Umat Beragama) Kabupaten/Kota.

    dan kalo dilihat sejarahnya, skba itu sendiri disetujui oleh semua perwakilan agama diindonesia...


    kenapa umat islam selalu menolak pendirian gereja dilingkunganya,dikarenakan kebanyakan bila disuatu daerah didirikan gereja slalu disertai kristenisasi.....dan itu yang tidak diinginkan oleh umat islam.
    memang dalm dalam Al-Quran surat Al Kaafiruun “…untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku" atau ayat tentang tidak ada paksaan dalam hal beragama (Qs. Al-Baqarah : 56) itu khusus umat islam tapi apakah ada ketentuan seperti itu dalam ajaran agama nasrani???

    jangan kan diindonesia di negara eropa dan amerika yang katanya menjunjung democrazy dan HAM... UMAT ISLAM SULIT membuat tempat ibadah...

    BalasHapus
  2. Kenapa takut dengan Kristenisasi...?
    Bukankah mendakwahkan agama adalah hak dari setiap agama di negeri ini...
    Apakah begitu lemahnya iman muslim hanya karna pendirian gereja...?

    Bukankh penulis juga uda menuliskan dampaknya, yaitu konflik horizontal antar umat...

    Jika anda berpikir seperti itu, maka jangan heran jika kelak nantinya kasus penolakan pendirian mesjid bukan hanya terjadi di Manokwari krn alasan islamisasi...

    BalasHapus
  3. Tapi bang, apakah pembangunan gereja di Jeneponto itu urgen?
    Dengan pertimbangan, jumlah umat Kristen di Jeneponto dalam buku statistik tahun 2021 cuma sebanyak 13 orang?
    Mohon jawabannya bang, apakah informasi yang saya dapatkan tidak benar?

    BalasHapus